Dunia Islam Dan Kompleksitas Permasalahannya Dewasa Ini
Wednesday, June 13, 2018
Edit
MAKALAH DUNIA ISLAM DAN KOMPLEKSITAS
PERMASALAHANNYA DEWASA INI
A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Agama
Islam adalah risalah(pesan-pesan) yang diturunkan Tuhan kepada Muhammad SAW
sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung hukum-hukum sempurna untuk
dipergunakan dalam menyelenggarakan tata cara kehidupan manusia,
yaitu mengatur hubungan
manusia dengan manusia lainnya,
hubungan manusia dengan,
alam dan hubungan manusia dengan khaliqnya.
Islam datang
dengan serangkaian pemahaman
tentang kehidupan yang membentuk
pandangan hidup manusia.
Islam hadir dalam
bentuk garis-garis hukum yang
global, yakni makna-makna
tekstual yang umum yang
mampu memecahkan seluruh
problematika kehidupan manusia baik yang
meliputi aspek ritual
(ibadah) maupun sosial
(muamalah). Dengan demikian akan
dapat digali (diistinbat) berbagai pemecahan setiap masalah yang timbul dalam
kehidupan manusia.
Dalam menjawab
permasalahan yang timbul,
nampaknya peranan hukum Islam
dalam era modern
dewasa ini sangat
diperlukan dan tidak dapat lagi dihindarkan,
kompleksitas permasalahan umat
yang selalu berkembang seiring
dengan berkembangnya zaman
membuat hukum Islam harus
menampakkan sifat elastisitas
dan fleksibilitasnya guna memberikan yang terbaik serta dapat
memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.
2.
Rumusan Masalah
a. Apa saja bentuk kerja sama di antara negeri
muslim?
b. Upaya apa saja dalam menyelesaikan konflik
intern dan antar negeri-negeri muslim?
c. Bagaimana hubungan Dunia Islam dengan dunia
Non-Islam
d. Bagaimana bentuk dilematis minoritas Muslim?
e. Apa saja peran Organisasi Konferensi Islam
Internasional (OKI) ?
f.
Bagaimana
dengan masa depan umat islam?
g. Bagaimana peran radikal dalam islam?
3.
Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui bentuk kerja sama di antara
negeri muslim
b. Untuk mengetahui upaya dalam menyelesaikan
konflik intern dan antar negeri-negeri muslim
c. Untuk mengetahui hubungan Dunia Islam dengan
dunia Non-Islam
d. Untuk mengetahui bentuk
dilematis minoritas Muslim
e. Untuk mengetahui peran
Organisasi Konferensi Islam Internasional (OKI)
f.
Untuk
mengetahui masa depan umat islam
g. Untuk mengetahui peran
radikal dalam islam
B.
PEMBAHASAN
1.
Berbagai bentuk jalinan kerja sama bilateral
dan multilateral di antara negeri Muslim
Dalam
Islam, hubungan dan perjanjian internasional dijalin untuk menegakkan hukum dan
ketertiban di dunia. Hal ini penting agar semua orang dari berbagai budaya dan
keyakinan dapat hidup damai tanpa takut terjadi penindasan. Sebagai salah satu
negara merdeka di dunia, Indonesia berhak mengadakan hubungan dengan
negara-negara lain di dunia sebagai salah satu bentuk peran serta Indonesia
dalam pergaulan dunia. Hubungan itu dapat kita sebut sebagai hubungan
internasional. Terdapat dua jenis hubungan internasional yang kita kenal selama
ini, yaitu hubungan bilateral dan hubungan multilateral. Yang dimaksud dengan
hubungan bilateral yaitu hubungan yang dilakukan di antara dua negara untuk
mencapai suatu tujuan tertentu.
a. Hubungan bilateral
1) Hubungan Bilateral Indonesia dan Arab Saudi
Indonesia merupakan
negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Hal ini menjadikan Indonesia
harus memiliki hubungan bilateral yang baik dengan negara Arab Saudi. Mengapa
demikian? Hal ini dikarenakan salah satu kewajiban dari umat muslim ialah pergi
melaksanakan ibadah haji yang hanya dapat dilakukan di negara Arab Saudi.
Selain itu, umat muslim juga setiap bulannya ada saja yang melaksanakan ibadah
umrah di negara tersebut.
Kerja sama Indonesia
dan Arab Saudi utamanya memang berkenaan dengan ibadah haji dan umrah. Namun,
di sisi lain banyak terjadi kerja sama bilateral antara Indonesia dan Arab
Saudi, misalnya yaitu pada bidang pendidikan. Banyak terjadi pertukaran pelajar
antara kedua negara ini. Selain itu, Indonesia dan Arab Saudi juga banyak
bekerja sama di bidang pemberantasan radikalisme dan terorisme.
b. Hubungan multilateral
1) Hubungan Internasional Indonesia dengan
Organisasi Konferensi Islam
Organisasi Konferensi Islam (OKI) dibentuk setelah para pemimpin
sejumlah negara Islam mengadakan Konferensi di Rabat, Maroko, pada tanggal
22-25 September 1969, dan menyepakati Deklarasi Rabat yang menegaskan keyakinan
atas agama Islam, penghormatan pada Piagam PBB dan hak azasi manusia.
Pembentukan OKI semula didorong oleh keprihatinan negara-negara Islam atas
berbagai masalah yang diahadapi umat Islam, khususnya setelah unsur Zionis
membakar bagian dari Masjid suci Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969.
Pembentukan OKI antara lain ditujukan untuk meningkatkan solidaritas Islam di
antara negara anggota, mengkoordinasikan kerjasama antara negara anggota,
mendukung perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat
suci Islam dan membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka
dan berdaulat. OKI saat ini beranggotakan 57 negara Islam atau berpenduduk
mayoritas Muslim di kawasan Asia dan Afrika.
Kerjasama antara Negara-negara OKI yang selama
ini telah terjalin perlu lebih dipererat. Hal ini perlu ditegaskan mengingat
persepsi sebagian kalangan barat yang mengidentikkan citra islam dengan
kekerasan dan terorisme. Persepsi tersebut harus dihilangkan. Oleh sebab itu
berbagai kalangan berharap agar diantara sesama Negara anggota OKI terdapat
solidaritas yang tinggi dalam menyikapi berbagai permasalahan yang terjadi dan
menimpa Negara-negara OKI khususnya dunia Islam.
Dalam bidang ekonomi dan perdagangan telah
ditandatangani Agreement on Trade Preferential System of the Organization of
the Islamic Conferences (TPS-OIC). Meskipun termasuk Negara yang pertama kali
menandatangani Agreement tersebut, tetapi sampai saat ini Indonesia belum
meratifikasi TPS-OIC dimaksud. Pada Putaran Pertama Perundingan TPS-OIC yang
diselenggarakan pada bulan April 2004 di Turki, Indonesia hanya sebagai
peninjau dan diharapkan segera dapat meratifikasi agreement TPS-OIC. Untuk itu
Indonesia perlu secara serius mempertimbangkan kemungkinan ratifikasi
perjanjian tersebut dalam waktu dekat.
Perdagangan Indonesia dengan Negara-negara OKI
sampai dengan tahun 2003 masih relative kecil padahal OKI merupakan salah satu
pasar potensial untuk produk-produk Indonesia. Berbagai usaha perlu
dilaksanakan dalam rangka mempromosikan produk Indonesia di Negara-negara OKI
diantaranya dengan mengadakan pameran sebagai tindak lanjut pameran di Sharjah
dan Libya. Disamping itu upaya-upaya peningkatan perdagangan perlu dilaksanakan
secara optimal melalui fora
multilateral.
2.
Upaya-upaya menyelesaikan konflik intern dan
antar negeri-negeri muslim
Agama Islam barangkali merupakan agama yang
paling banyak mengalami konflik internal. Sejak masa awal, sepeninggal Nabi
Muhammad Saw., konflik dan kekerasan hampir tidak pernah mereda dan menjadi
fenomena kesejarahan, serta berlangsung dalam seluruh kurun waktu peradaban.
Kepentingan kelompok umat Islam yang dilatarbelakangi oleh ambisi kekuasaan dan
perbedaan faham ikut tumbuh dan berkembang, serta dapat memicu terjadinya
konflik internal umat Islam.
Islam merupakan agama yang dipeluk mayoritas
penduduk di Indonesia. Sebagai agama yang banyak dipeluk oleh penduduknya,
Islam tentunya mempunyai peranan penting dalam perjalanan bangsa. Namun, Islam
ternyata juga memiliki kemajemukannya sendiri, baik pada karakteristik ajaran,
umat dan juga simbol keagamaan. Perbedaan pandangan dalam suatu agama bisa
melahirkan konflik di dalam tubuh suatu agama. Perbedaan madzhab adalah suatu
perbedaan yang nampak dan nyata. Kemudian lahir pula perbedaan ormas keagamaan.
Walaupun satu aqidah yakni aqidah Islam, namun perbedaan sumber penafsiran dan
penghayatan, kajian terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah terbukti mampu
mendisharmoniskan intern umat Islam.
Menurut Alo Liliweri, bahwa yang disebut
konflik adalah: Bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau
kelompok, karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan,
nilai dan kebutuhan. Di Indonesia sendiri, terdapat sejumlah kondisi yang
potensial menimbulkan konflik atau ketegangan internal agama islam, yakni: (1)
keberadaan paham yang dinilai sesat (bukan Islam) baik oleh Dunia Islam maupun
Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti Jemaat Ahmadiyah, (2) keberadaan faham
keagamaan yang berbeda dengan mainstream tetapi dunia Islam tetap mengakui
keberadaannya, seperti aliran Syi’ah, (3) munculnya faham radikal baik yang
bersifat ideologis seperti Jama’ah Islamiyyah (JI) dan Jama’ah Ansharut Tauhid
(JAT) maupun non-ideologis seperti Front Pembela Islam (FPI), (4) munculnya
kelompok literalis atau puritan seperti salafi, yang menganggap kelompok lain
sesat atau bid’ah, dan (5) munculnya aliran-aliran yang dinilai sesat yang
bersifat lokal tetapi mengidentifikasikan diri sebagai Islam, seperti
Al-Qiyadah al-Islamiyah yang didirikan Ahmad Musaddeq.
Faham-faham keagamaan tersebut dalam sejumlah
kasus menimbulkan ketegangan atau konflik dalam masyarakat, baik karena aliran
itu sendiri dinilai menyimpang yang berarti menodai agama, maupun karena
faham-faham baru itu disiarkan dengan cara menyalahkan, membid’ahkan atau
bahkan mengkafirkan faham yang dikuti warga masyarakat setempat. Namun
demikian, hanya sebagian kecil saja dari ketegangan atau konflik itu yang
berkembang menjadi kekerasan atau pengusiran, seperti kasus Ahmadiyah di
Cikesik, Banten dan Lombok serta kasus Syi’ah Sampang di bawah kepemimpinan
Tajul Muluk. Konflik semacam ini juga terjadi di sejumlah negara Muslim
lainnya, seperti konflik Muslim-Ahmadiyah di Pakistan, konflik Sunni-Syi’ah di
Pakistan, Irak dan Lebanon, serta konflik Salafi-Sufi di Mesir.
Mengetahui berbagai macam konflik yang
ditimbulkan baik di Indonesia maupun di luar negeri maka diperlukan upaya-upaya
untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Tujuan dilakukannya upaya-upaya menyelesaikan konflik tersebut adalah
supaya tidak terulang lagi konflik yang sama atau bahkan untuk mencegah
terjadinya konflik yang baru.
Konsep Islah (rekonsiliasi) dalam konflik
merupakan salah satu ajaran agama Islam. Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat
yang menerangkan tentang konsep Islah tersebut, baik dalam konteks konflik
level komunitas kecil seperti konflik yang terjadi dalam hubungan suami istri,
maupun dalam level komunitas besar seperti konflik yang terjadi antara dua
kelompok orang mukmin yang bertikai seperti dalam Surat Al-Hujarat ayat 9 yang
berbunyi:
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil,
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.
Tidak hanya Al-Qur’an saja yang berbicara
tentang Islah, dalam hadits Nabi Muhammad SAW terdapat beberapa hadits yang
menyeru dan menerangkan tentang Islah, diantaranya adalah hadits riwayat Abu
Darda’, bahwa Rasulullah SAW bersabda
” Maukah kalian saya beritahu suatu hal yang
lebih utama daripada derajat puasa, sholat dan sedekah?. Para sahabat menjawab
: tentu ya Rasulallah. Lalu Nabi bersabda : hal tersebut adalah mendamaikan perselisihan, karena karakter
perselisihan itu membinasakan” (HR. Abu Daud).
Islah/rekonsiliasi adalah sebuah upaya
mendamaikan atau membuat harmonisasi antara dua atau beberapa pihak yang
berselisih. Islam telah menawarkan beberapa solusi untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang mengganggu hubungan dalam keluarga dan sosial
kemasyarakatan agar terjalin nilai ukhuwah dan keharmonisan dalam kehidupan
bermasyarakat, ikatan kasih sayang dan keseimbangan alam tetap terjaga, dan masyarakat yang penuh dengan rasa kasih
sayang dan persaudaraan.
Setelah melakukan perdamaian, hendaklah kita
melakukan sikap al-‘adl (berlaku adil). Keadilan (al-‘adalah) merupakan suatu
keniscayaan dalam menciptakan kondisi damai dan harmoni. Sebab kezaliman (lawan
dari keadilan) pada dasarnya akan menyulut konflik bagi pihak yang dizalimi.
Term yang digunakan dalam al-Quran untuk menyebut keadilan sangatlah beragam,
seperti al-‘adl, al-qisth, dan al-mizan. Keadilan merupakan indikator ketakwaan
seseorang, sementara ketakwaan akan mengantarkan kepada keberkahan,
kesejahteraan dan kedamaian.
Sebagai ummat Islam Nusantara yang mempunyai
karakter dan sejarah sendiri, sudah seharusnya mengambil sikap sebagai muslim
yang cerdas dan bijaksana. Setiap perbedaan yang ada, baik perbedaan agama,
perbedaan keyakinan, perbedaan ras dan suku, maupun perbedaan pemahaman, jangan
sampai menyebabkan terjadinya permusuhan dan perpecahan hingga menimbulkan
konflik kekerasan atas nama agama.
3.
Hubungan dunia islam dengan dunia islam
Dalam kehidupan sosial
dan moral Islam telah memberikan panduan kepada para pemeluknya untuk
berperilaku yang baik dan tepat, seperti halnya Islam mengatur para pemeluknya
dalam hal berhubungan dengan masyarakat non-muslim. Banyak ayat-ayat Al-qur’an
yang menerangkan tentang hubungan antara muslim dengan non-muslim, baik yang
menerangkan tentang perang, mengenai keyakinan, pernikahan, perdagangan dan
lainnya.
Hubungan antara Muslim
dengan non-Muslim kerap diwarnai dengan ketegangan, kekerasan, bahkan sering
dijumpai dengan adanya terorisme yang mengatasnamakan Islam. Dengan
mengatasnamakan agama mereka orang-orang yang tidak bertanggung jawab
menghancurkan nama baik umat Islam dengan menyerang tempat ibadah agama lain
yakni non Islam. Konflik sering terjadi disebabkan perbedaan. Misalnya saja
Islam dan Kristen adalah merupakan sama-sama agama misi. Sudah sejak lama
diberbagai belahan dunia, terjadi perbedaan yang tajam dan berpotensi konflik
antara Kristen dengan Islam.
Dalam firman Allah yang
berbunyi: “mudah-mudahan Allah
menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara
mereka. Dan allah adalah maha kuasa. Dan allah maha pengampun lagi maha
penyayang. Allah tidak melarang kamu (menjalin hubungan baik) terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. (dan Allah juga tidak melarang kamu) berbuat baik kepada mereka
dan berlaku adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan
membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka
sebagai kawan, (teman-teman akrab), Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
(QS: al-Mumtahanah {60} : 7-9 ).
Berdasarkan dari ayat
diatas, Allah menghimbau pada masyarakat muslim untuk tetap menjaga hubungan
yang baik dan adil terhadap masyarakat yang non-muslim. Hidup secara
berdampingan dan tidak mengkucilkan mereka karena berbeda keyakinan selagi
mereka tidak memusuhi umat Islam.
Ayat-ayat di atas juga
menggariskan prinsip dasar hubungan interaksi antara kaum muslimin dan
non-muslim. Dan ayat di atas juga menegaskan seyogyanya harus dipisahkan antara
perbedaan kepercayaan atau agama dengan interaksi sosial kita sehari-hari.
Maka, jika kita berlainan agama lalu hubungan sosialnya menjadi jauh atau
renggang adalah sebuah pengingkaran dari perintah Allah di atas. Pengertian
adil juga berlaku ketika kita harus bersikap bijak dalam memilih teman atau
golongan dalam bermasyarakat.
Dalam kehidupan
sehari-hari untuk mengamalkan ayat di atas, contoh dalam upaya menjalin kerja
sama dan jauh dari perdebatan teologis doktrinal yang selalu buntu yaitu berupa
pengentasan kemiskinan, kebodohan, kemerosotan moral, penjagaan keamanan, dan
sebagainya demi kesejahteraan bersama. Para ulama berpendapat tentang ayat
tersebut, salah satunya Ibnu Jarir bahwa
pendapat yang benar mengenai hal itu adalah pendapat kelompok yang mengatakan,
“maksudnya adalah bahwa Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik,
menyambung hubungan, dan berbuat adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangimu karena agama dari seluruh penganut agama yang ada.
Kemudian pendapat lain
dari Ibnu Taimiyah Rahimahullāh sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad bin
Sa’di al-Qahthani, dalam bukunya al-Walā’
wal-Barā’, beliau mengatakan “pada dasarnya tidak diharamkan atas manusia
untuk melakukan interaksi yang mereka butuhkan, kecuali hal-hal yang
pengharamannya disebutkan oleh kitab dan sunah. Hubungan antar umat beragama,
khususnya dalam masyarakat majemuk memang selalu diwarnai oleh pasang surut,
baik dalam skala lokal, regional, nasional maupun internasional.
Jadi, dapat disimpulkan
bahwa memang hubungan antar ummat beragama tidak selamanya harmonis. Meskipun
doktrin agama masing-masing menganjurkan keharmonisan, kedamaian, kerukunan,
saling menghormati, menjunjung tinggi prinsip kebersamaan, namun dalam realitas
historis empiris, doktrin agama, keputusan majelis ulama’ keputusan konsili
atau juga hasil kesepakatan sidang dewan gereja-gereja sedunia yang bagus-bagus
tersebut belum dengan sendirinya dapat terlaksana seperti yang diidam-idamkan
oleh masing-masing pihak. Masih banyak faktor “kepentingan” politik, ekonomi,
sosial, pertahanan keamanan yang ikut mewarnai pergumulan, dinamika yang pasang
surut hubungan antar ummat beragama. Namun alangkah baiknya kita sebagai umat
Islam diperintahkan untuk tetap berbuat baik dan adil kepada masyarakat non
muslim serta berkerja sama dengannya dalam hal kebaikan yang tidak membawa
dampak negatif bagi umat Islam. Hal ini dilakukan selama masyarakat non muslim
tersebut tidak menjelek-jelekkan serta memusuhi agama Islam. Karena pada
dasarnya Islam merupakan agama yang damai dan penuh cinta. Di dalam ajarannya
para pemeluknya diarahkan untuk melakukan segala hal bermanfaat bagi manusia.
Menjaga dan memlihara keharmonisan hubungan antar makhluk khususnya sesama
manusia dibawah ajaran Islam
4.
Dilema minoritas Muslim
Komunitas
Muslim minoritas di berbagai negara mengalami dilematis antara tetap loyal
kepada ajaran agamanya ataukah melebur mengikuti mayoritas yang banyak
bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Di samping itu, persoalan serius yang
dihadapi kaum Muslim minoritas adalah adanya perlakuan diskriminatif oleh penguasa negeri di mana mereka tinggal
yang selalu berpihak kepada kaum mayoritas yang non-muslim. Persoalan bertambah
meruncing ketika umat Islam, baik yang tergabung dalam kelompok minoritas maupun
yang bermukim di negara mayoritas Islam menanggapi masalah tersebut secara
konfrontatif. Di sisi lain, ada pula yang menyikapi dengan cara melebur total
ke dalam budaya setempat sehingga mereka kehilangan identitasnya sebagai
seorang Muslim. Akhirnya mereka memilih untuk tidak terpaku pada suatu mazhab
dalam aspek ubudiah, tidak terpaku pada paham atau penafsiran tertentu sebagai
solusi atas berbagai persoalan dilematis yang senantiasa menyelimuti.
Apabila dikelompokkan, keluhan minoritas
Muslim tentang pelaksanaan ajaran Islam di Barat menyentuh hampir semua aspek
dalam Islam dan telah menjadi persoalan dilematis bagi kaum Muslim minoritas di
negara-negara Barat. Berbagai persolan dilematis tersebut di antaranya:
Pertama, keluhan di bidang ibadah mahdah
(ibadah murni), seperti salat (termasuk salat Jum’at), dan puasa. Mencari
masjid untuk salat Jum’at di Barat susah. Umat Islam tak jarang harus menempuh
perjalanan jauh agar salat Jum’at bisa dilangsungkan sementara mereka harus
melaksanakan tugas-tugas studinya atau harus melaksanakan tugas bekerja di
perusahaan. Terlampau sering meninggalkan tugas studi atau pekerjaan dengan
alasan salat Jum’at kadang tak segera dipahami oleh pihak kampus atau atasan
mereka di Barat.
Kedua, dalam bidang ahwal syakhshiyyah (hukum
keluarga). Di bidang ini, sebagian minoritas Muslim di Barat menghadapi
persoalan pelik mengenai status perkawinan. Banyak dijumpai, suami dan istri
pada mulanya beragama Kristen. Namun, seiring waktu kadang si istri memeluk
Islam, sementara si suami masih menganut agama lamanya. Konsisten dengan fikih
lama-konvensional maka si istri harus bercerai dari suaminya. Karena perempuan
Islam tak dibolehkan menikah dengan orang laki-laki bukan Islam. Sampai
sekarang, pernikahan beda agama masih sulit untuk ditembus kehalalannya karena
begitu kukuhnya argumen naqliyah yang mengharamkannya. Namun, tak jarang fikih
Islam berkata “A”, umat Islam berkata “B”. Oleh karenanya, tak sedikit umat
Islam di Barat lebih mempertahankan pernikahannya sekalipun beda agama, dengan
alasan tak mungkin menghancurkan bangunan keluarga yang telah tegak dengan
peluh dan air mata. Demi anak dan keutuhan keluarga, mereka memilih
mempertahankan keluarga daripada menghancurkannya.
Ketiga, dalam bidang muamalah juga ada
masalah. Tak sedikit ulama fikih yang berpendapat perihal haramnya umat Islam
bersahabat dengan umat agama lain. Tak hanya itu, bahkan juga diharamkan untuk
memilih kepala negara non-Muslim. Menerapkan pandangan fikih demikian di Barat
potensial menimbulkan masalah. Umat Islam akan semakin teralienasi dari
komunitas besar di Barat. Padahal, sebagai warga negara, umat Islam mustinya
mengintegrasikan diri dalam sebuah komunitas. Ia tak boleh menarik diri dari
lalu lalang pergaulan masyarakat. Dalam keadaan demikian, sekalipun banyak teks
agama yang melarang umat Islam bergaul dengan umat non-Muslim, umat Islam di
Barat akhirnya cenderung tak mempedulikannya.
Atas dasar itu, ulama Islam berpikir agar
minoritas Muslim di Barat mendapatkan penanganan khusus dari sudut pandang
fikih. Sebab, bertumpu pada fikih arus utama akan merepotkan posisi umat Islam
di sana. Jabir Thaha al- ‘Alwani dan Yusuf al-Qardhawi menempuh solusi
progresif dengan merintis fikih baru, fikih minoritas (fiqh al-aqalliyyat). Di
antaranya, Jabir al- ‘Alwani menulis buku berjudul Toward a Fiqh for
Minorities. Sedangkan Yusuf al-Qaradhawi menulis buku Fi Fiqh al-Aqalliyyat
al-Muslimah. Di Indonesia, Ahmad Imam Mawardi menulis buku Fiqh Minoritas: Fiqh
al-Aqalliyyat dan Evolusi Maqashid al-Syariah dari Konsep ke Pendekatan.
5.
Revitalisasi peran Organisasi Konferensi Islam
(OKI)
Organisasi Konferensi Islam (OKI) berdiri pada
tanggal 25 September 1969 didasarkan pada Deklarasi Rabat (Maroko), yang
diprakasai oleh Raja Husein II (Maroko) dan Raja Faisal (Arab Saudi). Jeddah
adalah tempat kedudukan sekretaris jendral OKI
Jauh sebelum terbentuknya organisasi
Organisasi Koferensi Islam ini, beberapa negara Islam atau negara yang memiliki
penduduk mayoritas beragama islam telah beberapa kali mengadakan pertemuan
internasional dalam rangka untuk membahas berbagai persoalan yang menimpa dunia
Islam. Konferensi pertama dunia Islam diadakan di Kairo pada bulan Mei 1926
yang dihadiri oleh 11 utusan-utusan dari Mesir, Libya, Tunisia, Maroko, Afrika
Selatan, Hindia Belanda (Indonesia), Johor (Malaysia), Yaman, Palestina, Irak
dan Polandia. Utusan-utusan dalam konferensi ini bukan dari utusan pemerintah,
namun sangat diperlukan berkumpulnya seluruh umat Islam untuk membahas
kemungkinan menghidupkan kembali kekhalifahan sesuai dengan syari’ah.
Konferensi ini menekankan agar umat Islam berkerja sama untuk mewujudkan
lembaga kekhalifahan.
Keinginan untuk bekerja sama dikalangan
negara-negara Islam semakin bertambah, dan bukan saja didalam bidang ekonomi
dan kebudayaan tetapi juga dalam pembangunan intelektual. Namun
pemikiran-pemikiran persatuan dan kerjasama diantara negara-negara Islam gagal
menghasilkan sesuatu yang praktis dan positif. Tidak ada konferensi
dilaksanakan dalam rangka memecahkan masalah.
Pada tanggal 21 Agustus 1969, dunia Islam
dikejutkan dengan adanya pembakaran Masjidil Aqsha dibawah pendudukan Israel.
Mantan Mufti Jarusalem, Amil al-Husaini mengiriman kawat ke semua negara
Muslim, dengan harapan agar segera diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
untuk membahas peristiwa yang mengejutkan itu. Negara-negara mengeluarkan suatu
resolusi di PBB dan menolak tindakan Israel itu. Protes berdatangan dari
seluruh negara-negara muslim, dan mendukung diadakanya suatu KTT Islam.
Pada tanggal 22-25 September 1969 di Rabat, Maroko
sebanyak 24 negara Muslim sepakat utuk saling tukar pandangan, menjalin
pengertian dan bekerja sama yang erat dalam bidang ekonomi, iptek, kebudayaan,
dan bidang-bidang lainnya. KTT tersebut juga memutuskan agar pada tahun
berikutnya diadakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) guna membahas hasil KTT
serta membentuk suatu sekretariat yang permanen sebagai media dalam mempererat
kerja sama di antara negara-negara anggota.
Pada KTM yang pertama tanggal 23-25 Maret 1970
di Jeddah, Saudi Arabisa diputuskan tempat kedudukan sekretariat OKI yakni di
Jeddah, dan Tengku Abdurrahman Perdana Menteri Malaysia meletakan jabatanya
sebagai perdana menteri, kemudian menjadi Sekretaris Jenderal Pertama untuk
OKI. Pada KTM yang kedua, tanggal 29 Februari – 4 Maret 1972 di Jeddah, piagam
OKI disetujui.
Pembentukan organisasi ini diprakarsai oleh
Raja Faisal (Arab Saudi) dan Raja Hassan (Maroko), sebagai bentuk reaksi atas
tindakan Israel yang membakar masjidil al-Aqsha. Pada 25 rabiul awal tepatnya
21 Agustus 2969, Israel membabi buta telah membakar Masjidil Aqsha, kiblat
pertama umat Islam.
Organisasi ini bertujuan untuk memajukan
perdamaian dan keamanan dunia muslim. OKI juga bertujuan untuk memperkokoh
solidaritas Islam diantara negara anggotanya, memperkuat kerjasama dalam bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan IPTEK.
Peran OKI dalam hubungan Internasional
OKI adalah organisasi Internasional yang
awalnya lebih banyak menekankan pada masalah politik, terutama masalah
Palestina, dalam perkembanganya OKI berubah sebagai suatu organisasi
Internasional yang menjadi wadah kerjasama di berbagai bidang. Peranan OKI
dalam pengembangan sosial budaya ini OKI telah membentuk banyak badan seperti
badan yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, hukum,
kebudayaan. Contohnya adalah Komisi Internasional Peninggalan Kebudayaan Islam
yang menangani masalah-masalah yang menyangkut pemeliharaan hasil-hasil budaya
Islam yang ada di negara Islam, Akademi Fiqih Islam yang bertujuan mempelajari
masalah-malasah yang menyangkut kehidupan “ijtihad” yang berasal dari tradisi
Islam, adapun Komisi Hukum Islam Internasional guna menyumbangkan kemajuan
prinsip-prinsip Hukum Islam.
Kemudian saat KTT OKI ke 14 pada tanggal 13-14
Maret 2008, Presiden RI menyampaikan dalam pidatonya, diantaranya potensi
kapasitas negara-negara anggota OKI dapat diberdayakan dalam memainkan perannya
dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan global, pemberantasan kemiskinan
dan percepatan pembangunan, hal ini merupakan salah satu yang harus dilakukan
OKI dalam perannya sebagai forum budaya-sosial.
Selain itu, OKI diharapkan dapat meredam
Islamphobia, saat ini pandangan Dunia Islam tertuju kepada gerakan Islamphobia
dan maraknya aksi penistaan terhadap kesucian agama Islam di Barat. Barat
melalui kekuatan medianya mengesankan adanya kesamaan antara Islam dengan
terorisme. Padahal, Islam menolak terorisme dan bahkan mengajarkan prinsip
kasih sayang antara manusia. Media yang sedemikian kuar dalam memperburuk wajah
Islam ini yang disinggung dalam sidang para Menteri OKI. Para Menteri luar
negeri OKI telat menyelesaikan sidangnya di Duashanbe Tajikistan dan telat
menyusuk sebuah deklarasi yang semestinya. Namun tidak seperti yang diharapkan
dari OKI, yang diinginkan yaitu tindakan nyata dan implementasi isi deklarasi
itu untuk mengatasi problematika beragam umat Islam. OKI yang termasuk
oraganisasi internasional sebaiknya tidak bersikap pasif dan sangat diharapkan
muncul sebagai pemain yang berperan besar dalam hubungan global sebagai
tindakan yang harus dilakukan oeh OKI demi dunia Islam.
Peran OKI dalam menangani kasus Suriah
Negara Suriah masuk ke dalam anggota OKI pada
tahun 1970. Berperan untuk Palestina yakni sebagai perintis dalam pembelaan
perjuangan bangsa Palestina. Pemberontakan Suriah 2011-2012 adalah sebuah
konflik kekerasan internal yang berlangsung di Suriah. Demonstrasi publik
dimulai pada tanggal 26 Januari 2011, dan berkemban g menjadi pemberontakan nasional. Konflik negara itu berawal dari
sebuah protes terhadap penangkapan beberapa pelajar di kota kecil Daraa. Para
pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri Presiden Bashar al-Assad, penggulingan
pemerintahnya, dan mengakhiri hampir lima dekade pemerintahan Partai Ba’ath.
Pemerintah Suriah mengerahkan tentaranya untuk memadamkan pemberontakan
tersebut, dan beberapa kota terkepung. Menurut saksi, tentara yang menilak
untuk menembaki warga sipil akan dieksekusi oeh tentara Suriah. Pemerintah
Suriah membantah laporan tersebut dan malah menyalahkan “gerombolan bersenjata”
atau warga sipil yang bersenjata. Hal ini menyebabkan masalah pada kahir 2011,
warga sipil dan tentara pembelot membentuk unit pertempuran yang memulai
kampanye pemberontakan melawan tentara Suriah.
OKI pun mengambil inisiatif untuk turut serta
menjadi bagian dari upaya mencari solusi demi mengakhiri krisis Suriah.
Organisasi ini pun menggelar KTT khusus membahas krisi Suriah di Arab Saudi.
Pertemuan ini adalah bentuk inisiatif yang berasal dari keprihatinan Raja
Abdullah terhadap kepentingan umat Islam untuk mengakhiri perpecahan dan
mempromosikan perdamaian serta menjauhkan pemicu dendam dan konflik. OKI
mengirimkan tim penijau ke negara Suriah yang bertujuan agar pemerintah negara
Suriah segera menghentikan kekerasan yang terjadi. OKI juga menuntut Assad
meninggalkan kekuasaan dan bersiap untuk memasuki masa transisi pasca rezim
Bashar al-Assad, OKI juga mendesak dewan keamanan PBB untuk segera membantu
menyelesaikan konflik di negara tersebut. Tetapi pemerintah negara tersebut
tetap melakukan kekerasan dan mencoba mengambil alih kota Aleepo. Pada akhirnya
KTT OKI di Arab Saudi, secara resmi membekukan keanggotaan Suriah. KTT tersebut
menghasilkan komunike bersama dan resolusi OKI mengenai Suriah, Palestina,
Muslim Rohingya di Myanmar, dan situasi di Mali.
6.
Masa depan umat islam/peradaban islam
Pertumbuhan kaum muslimin
di dunia membawa kabar baik. Jumlah pemeluk agama Islam di dunia meningkat
sangat cepat dibandingkan dengan agama-agama lainya. Menurut lembaga survei
internasional, hal ini akan terus berlanjut hingga 2050 dengan perkiraan
mencapai 2,8 miliar muslim.
Agama islam tentu saja
menjadi agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Dimana sang pencipta pasti
mengetahui apa saja yang dibutuhkan ciptaanya. Allah SWT menurunkan agama Islam
ke muka bumi dengan seperangkat sistem yang akan menyelesaikan setiap problematika
kehidupan manusia yaitu wahyu al-quran.
Allah SWT berfirman, “dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya
ayat-ayat yang terang (Al-Quran) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan
kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang terhadapmu.” (QS. Al-Hadid:9)
Saat ini syariat Islam
juga telah menjadi tren di tengah peradaban dunia. Umat Islam mulai tertarik
menghafal dan mengkaji Al-Quran kembali. Berbagai lembaga juga banyak yang
didirikan untuk memudahkan mengahafal Al-Quran dan hadist. Lembaga pendidikan
bahasa Arab juga tak kalah banyaknya menyasar ibu kota. Walaupun diprediksikan umat Muslim di dunia akan
meningkat, diprediksikan bahwa negara-negara Muslim akan dilanda dengan banyak konflik. Seperti halnya terorisme
yang menjadi momok bagi masyarakat Barat bahkan terhadap umat Islam sendiri.
Kurangnya pemahaman terhadap Al-Quran dan hadist menyebabkan fanatisme buta.
Mayoritas masyarakat muslim memiliki pemahaman yang masih dangkal dan belum menyentuh hakikat Islam yang
sebenarnya. Walaupun diprediksikan bahwa jumlah umat Muslim akan meningkat,
namun hal itu tidak berhubungan dengan kualitas umat Islam.
Tapi itu semua tergantung
umat Muslim sendiri tidak ada yang tahu nasib umat Islam sendiri seperti apa.
Mungkin dimasa depan umat Islam sendiri akan berubah dan lebih menekuni ajar
Islam ataupun bisa sebaliknya umat Islam bisa terpecah karena banyaknya konflik
internal atau bisa saja banyak umat Islam yang tidak peduli dengan pemahaman
Islam yang sebenarnya.
7.
Islam radikal
Radikalisme
adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan
perubahan atau pembaharuan sosial politik secara drastis dengan menggunakan
cara-cara kekerasan. Namun, bila dilihat dari sudut pandang keagamaan, dapat
diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat
mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga penganut dari
paham tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham untuk
mengaktualisasikan paham keagamaan yang
dipercayainya agar diterima secara paksa.
Islam
adalah agama universal dan moderat (ummatan wasthan). Islam juga dikenal dengan
mengajarkan nilai-niali toleransi (tasâmuh) yang menjadi salah satu ajaran inti
Islam yang sejajar dengan ajaran lain seperti kasih (rahmat), kebijaksanaan
(hikmat), dan keadilan (‘adl)Alquran yang menegaskan Islam sebagai rahmat bagi
alam semesta (rahmatan li al-‘âlamîn) secara gamblang mengakui kemajemukan keyakinan
dan agama. Ratusan ayat secara eksplisit menyerukan sikap santun toleran
terhadap umat agama lain. Tapi, aksi kekerasan dan tindak intoleransi masih kerapkali
terjadi. Anehnya, itu diabsahkan dengan dalil ayat-ayat Alquran. Jika dibaca
lebih cermat, Alquran adalah lumbung ajaran toleransi nan adiluhung. Ia
mengajarkan per-damaian, kedamaian, dan ko-eksistensi. Dan sebaliknya, mengecam
keras segala bentuk kekerasan dan permusuhan. Di antara banyak dalil yang
mendukung bahwasanya Islam sebagai agama universal di antaranya adalah:
قُلْ يٰٓأَهْلَ الْكِتٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ
Katakanlah: “Hai Ahli
Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak
benar dalam agamamu.” (Q.S. al-Mâidah [5]: 77)
Alquran sangat tegas
memberikan jaminan kebebasan dalam beragama, sebagai-mana firman Allah Swt.
لَا إِكْرَاهَ
فِي الدِّينِ
“Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam)….” (Q.s. al-Baqarah [2]: 256)
Secara historis,
praktik keseharian Nabi Saw. juga meneguhkan visi dan misi Islam sebagai agama
yang humanis dan toleran.
Harus
diakui bahwa terdapat ayat-ayat Alquran yang secara tekstual berpotensi untuk
dijadikan ‘pemantik’ terhadap tindakan kekerasan atas nama agama. Di antara
dalil yang dijadikan rujukan radikalisme adalah:
وَقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ
كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَآفَّةً
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun
memerangi kamu semuanya.” (QS. At-Taubah : 36)
Berbasis pada pemahaman tekstual-literal bahwa
orang musyrik harus diperangi, bisa saja seseorang lalu melakukan kekerasan
terhadap orang lain, manakala ia melihat praktik kemusyrikan menurut versinya.
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ
الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam...” (Q.s Ali‘Imran[3]:19)
Ayat tersebut dipahami sementara orang sebagai sebuah legitimasi untuk
menafikan eksistensi agama lain. Yahudi dan Nasrani dinilai sebagai agama yang
harus dihapuskan oleh Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw.
Pada dasarnya agama Islam sangat memperhatikan
kemaslahatan individual maupun kolektif secara keseluruhan. Karenanya, tidak
ada suatu kemaslahatan individu atau pun kolektif yang melampui kemaslahatan
lainnya. Akan tetapi, jika ada benturan antara dua kepentingan (kemaslahatan)
itu, maka kepentingan kolektif akan diutamakan daripada kepentingan
individu.Tentu masih banyak ayat dan juga hadis yang bisa dijadikan landasan
gerakan radikal sebagai pembenaran atas tindakannya mengatasnamakan agama di
antaranya Q.s. al-Tawbah [9]: 29, Q.s. al-Tawbah [9]: 5, Q.s. al-Mâ’idah [5]:
50, dan Q.s. al-An’âm [6]: 116. Kalau dilihat sepintas, dalih-dalil tersebut di
atas sepertinya benar, dan dalil-dalilnya pun kuat. Akan tetapi apabila
diperhatikan dengan seksama maka akan terlihat bahwa mereka kurang teliti dalam
memahami dalil-dalil tersebut, baik teks maupun konteksnya, sehingga melahirkan
pandangan yang sempit, ekstrim dan radikal, dan pada gilirannya akan
menimbulkan terorisme. Contoh ayat lainnya yang diduga dijadikan sumber
radikalisme agama, misalnya terdapat dalam surat al-Taubah [9]: 29 yang
berbunyi:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
Sepintas pemahaman radikal akan muncul ketika
membaca ayat di atas. Namun, bila ditinjau dari pendekatan sebab turunnya ayat
(asbâb al-nuzûl), ayat ini berkenaan dengan perang terhadap ahli Kitab
(musyrik), karena ada sekelompok Nasrani yang merasa khawatir terhadap ajaran
Muhammad, lalu mereka mengumpulkan pasukan dari suku Arab yang beragama Kristen
dan bergabung dengan kekuasaan Romawi untuk menyerang kaum Muslim, sehingga
orang Muslim merasa cemas terlebih setelah mereka mendengar bahwa pasukan sudah
sampai di dekat Yordania. Kecemasan kaum Muslim tersebut dijawab oleh Allah
dengan menurunkan ayat di atas. Konteks masa Nabi tentu jauh berbeda dengan
kondisi saat ini, sehingga ayat ini tidaklah menjadi relevan lagi dengan
konteks saat ini. Apalagi untuk konteks Indonesia.
Contoh model penafsiran di atas betapa memberikan
pemahaman yang berbeda dari teks aslinya ketika dipahami secara benar dan
mendalam. Sudah saatnya umat Muslim merekonstruksi ulang penafsiran radikal
agar tidak terjadi kesalahpahaman dan bahkan dengan seenaknya melakukan
tindakan radikal atas dasar teks agama. Melihat urgennya akan tafsir yang
ramah, kontekstual dan humanis, maka dianggap penting memetakan ayat mana saja
yang sering dijadikan landasan ideologi radikal untuk dicarikan solusi melalui
nalar ramah dan humanis. Lahirnya gerakan radikalisme agama merupakan segala
perbuatan yang berlebihan dalam beragama yang pada gilirannya paham ini
melahirkan orang-orang yang kaku dan ekstrim serta tidak segan-segan
berperilaku dengan kekerasan dalam mempertahankan ideologinya.
C.
PENUTUP
Simpulan
Hubungan antar ummat beragama tidak selamanya
harmonis. Meskipun doktrin agama masing-masing menganjurkan keharmonisan,
kedamaian, kerukunan, saling menghormati, menjunjung tinggi prinsip
kebersamaan, namun dalam realitas historis empiris, doktrin agama, keputusan
majelis ulama’ keputusan konsili atau juga hasil kesepakatan sidang dewan
gereja-gereja sedunia yang bagus-bagus tersebut belum dengan sendirinya dapat
terlaksana seperti yang diidam-idamkan oleh masing-masing pihak. Masih banyak
faktor “kepentingan” politik, ekonomi, sosial, pertahanan keamanan yang ikut
mewarnai pergumulan, dinamika yang pasang surut hubungan antar ummat beragama.
Namun alangkah baiknya kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk tetap
berbuat baik dan adil kepada masyarakat non muslim serta berkerja sama dengannya
dalam hal kebaikan yang tidak membawa dampak negatif bagi umat Islam. Hal ini
dilakukan selama masyarakat non muslim tersebut tidak menjelek-jelekkan serta
memusuhi agama Islam. Karena pada dasarnya Islam merupakan agama yang damai dan
penuh cinta. Di dalam ajarannya para pemeluknya diarahkan untuk melakukan
segala hal bermanfaat bagi manusia. Menjaga dan memlihara keharmonisan hubungan
antar makhluk khususnya sesama manusia dibawah ajaran Islam
DAFTAR
PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. 2014. Penyelesaian Konflik Internal Agama.
(masykuriabdillah.lec.uinjkt.ac.id)
Abdul, Antoni. 2018. Menuju Peradaban Islam
Masa Depan
Alfandi. 2013. Potensi Pemicu Konflik Internal Umat Islam. Volume 21, Nomor 1.
Hanvitra. 2016. Menguak Masa Depan Islam
(http;//kompasiana.com)
Julian, Lalu. 2013. Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Peranya dalam Menangani Konflik
di Suriah
Mubasirun. 2005. Persoalan dilematis muslim minoritas dan solusinya.
Rohim. 2015. Hubungan umat muslim dan non-muslim menurut Al-qur’an by Hendro
Apriyono
(rohimal.blogspot.co.id)
Said, Hasani Ahmad. 2015. Radikalisme Agama Dalam Perspektif Hukum Islam.
Syamsuddin AM, Moch. Islah.
2013. Konsep Islam Dalam Penyelesaian
Konflik.
(yspalihsan.wordpress.com)
Related Posts